I Love Bandung: All About Bandung, Paris Van Java

| |




“Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!”
(Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!”)

ADA banyak, selain saya, yang bercerita tentang kota Bandung. Tentang kotanya, tentang makanannya, tentang keramahannya, tentang panas, dingin dan sejuknya, tentang kemacetannya, tentang PERSIB-nya, tentang musiknya, tentang sampahnya,tentang pengharapan warganya… tentang segalanya.
Sebagai warga Bandung, saya tak lepas juga bercerita tentang kota ini, secara langsung atau jauh lebih banyak secara tak langsung, sering juga malah teu nyambung.
Satu konteks yang tak pernah saya lepas dari pikiran adalah tentang wilayah Bandung itu sendiri. Kata ‘Bandung’ kini semakin menyempit sebagai ‘Kotamadya Bandung’ saja, walau sebenarnya secara fisik wilayah kotamadya sudah meluas sudah sejak lama (melebar ke arah timur).
Saya sendiri suka menyebut ‘Bandung Raya’ sebagai wilayah yang meliputi administratif Kotamadya Bandung, Kotamadya Cimahi dan Kabupaten Bandung. Penyempitan arti itu sendiri sebenarnya akibat warga Bandung sendiri, bukan warga kota lain.
Misalnya dulu di sekitaran rumah saya yang hanya beberapa ratus meter dari perbatasan, masih di wilayah kotamadya, sering terdengar orang berbicara, “Bade ameng ka Bandung heula, ah” yang artinya, “Mau main ke Bandung dulu, ah”. Padahal di KTP mereka jelas tertulis KOTAMADYA BANDUNG. Apalagi bagi mereka yang jelas tinggal di wilayah kabupaten, ‘Bandung’ adalah Kotamadya Bandung, dan kerap –lebih senang– menyebut dirinya seperti “aing mah urang Cicalengka”, Ciparay, Cililin, Pangalengan, Ciwidey, Majalaya, Banjaran, Rancaekek, Soreang dan lain-lainnya.
Konteks kedua yang melekat pada Bandung adalah etnis Sunda, peradaban, budaya dan orang-orangnya, karena kata ‘Bandung’ dan ‘Sunda’ hampir selalu saling berasosiasi.
Sebagai warga Bandung, apalagi juga keturunan orang Sunda, cukup getir melihat pemakaian Bahasa Sunda semakin berkurang akhir-akhir ini. Suwer, anak kecil ngomong berbahasa Sunda itu lebih menggugah daripada berbahasa Indonesia. Lagipula orang tua tak perlu mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anaknya, biarkan sekolah yang mengajarkan mereka.
Jadi, Bandung mana yang anda cakupi? Meski tak pernah terstruktur ternyata ada beberapa tulisan saya yang (katanya) dijadikan rujukan informasi, padahal saya bukan pusat informasi, bukan pula seorang pakar, tapi seorang yang terkapar. Tulisan-tulisan tersebut sebenarnya mudah dicari di Google dengan keyword “bandung", tapi saya coba tuliskan rangkaian tulisan tersebut dalam bentuk paragraf yang (semoga) memudahkan.
Setiap kota mempunyai sejarahnya masing-masing, begitu juga dengan yang pernah saya tulis sedikit tentang sejarah Bandung. Sejarah modern tak lepas dari sejarah dan peradaban masa silam, terutama secara umum tentang sejarah Sunda itu sendiri.
Dalam konteks kecil, nama sebuah tempat pun bisa mempunyai silsilahnya sendiri. Cerita tentang Bandung tentunya tak lepas dari orang-orang serta peristiwanya.
Siapa lagi kalau bukan para tokoh atau para pahlawan yang berjasa untuk hal tersebut. Ada Si Jalak Harupat Rd. Oto Iskandar di Nata, ada Rd. Dewi Sartika, Ibu Inggit Garnasih atau Mohamad Toha.
Di bidang seni kita mengenal Mang Udjo dengan padepokan angklungnya atau Harry Roesli, Doel Sumbang, Elfa’s yang cukup kental mewarnai pertumbuhan musik di kota ini.
Bandung Lautan Api masih tetap menjadi jargon penyemangat warga, termasuk bobotoh PERSIB yang sering menyanyikannya dengan sedikit perubahan menjadi “sekarang telah menjadi lautan BIRU”.
Di bidang pers, kota Bandung tak lepas dari perjuangan Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional. Kisah perjuangannya digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam karya Tetralogi Buru.
Ruang-ruang terbuka adalah fasilitas umum kota yang harus ada. Bandung punya alun-alun kota, lapangan Gasibu dan lapangan Tegallega. Tentu sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan wajah Bandung tempo dulu di kota yang dilingkung ku gunung ini.
Wisata alam, terutama alam pegunungan, menjadi satu daya tarik wisata, baik bagi warganya maupun dari turis-turis domestik. Ada kawah Tangkubanparahu, hutan Jayagiri, hutan Pakar-Maribaya, Situ Lembang yang sepi kurang terkunjungi, Situ Ciburuy yang katanya sudah tak jernih dan semakin surut, Situ Aksan yang sudah menghilang kering tinggal monumen, Kawah Putih, Ranca Upas serta Situ Patengan dan Batu Cinta-nya yang terpadu sebagai wisata alam Bandung Selatan, serta Situ Cileunca di Pangalengan. Tak hanya alam di bumi, anda pun bisa berwisata memandang luar angkasa di Observatorium Bosscha.
Soal makanan, jelas Bandung punya segudang makanan enak. Dari yang jajanan pasar sederhana hingga ke olahan modern. Tempat makan enak pun tak terhitung banyaknya, dari yang bersebelahan dengan tempat sampah hingga kelas restoran, semua ada, sampai saya tak tahu harus menuliskannya seperti apa. Hanya satu-dua cerita, seperti Warung Indung misalnya. Lain waktu saya lengkapi lagi. Semoga saya tetap bisa bercerita tentang kota Bandung ini seterusnya.



Print halaman ini

Posted by Unknown on 15.14. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "I Love Bandung: All About Bandung, Paris Van Java"

Leave a reply